Oleh : Dr. Attabiq Luthfi, MA
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh.
Katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Isra’: 85)
Terdapat lebih dari 19 ayat yang menyebut kata
“ruh” dalam Al-Qur’an. Maksud yang terkandung dari istilah ini tidak keluar
dari arti malaikat Jibril yang biasanya ditambah dengan istilah Ruhul Quds
atau Ar-Ruhul Amin dan maksud yang kedua adalah Al-Qur’an. Dan hanya
satu ayat yang bermaksud ruh dalam arti yang sebenarnya, yaitu pada ayat ini.
Meskipun demikian terdapat juga ulama tafsir seperti yang dinukil oleh Imam
Al-Qurthubi yang memahami ruh dalam arti analogis yaitu Al-Qur’an. Maka
pengertian ayat ini menurut Al-Qurtubi secara analogis adalah:
“Dan mereka bertanya, “Darimanakah Al-Qur’an
yang di tanganmu ini?”. “Katakanlah: Sesungguhnya ia diturunkan sebagai
mukjizat atas perintah Allah swt.”
Analogi kedua makna ini sangat jelas. Ruh
merupakan alat kehidupan manusia secara fisik materil. Manakala Al-Qur’an
adalah ruh yang bisa memberi kekuatan dan kehidupan manusia secara psikologis
ruhiyah. Hal ini bertepatan dengan ungkapan Malik bin Dinar tentang ruh
Al-Qur’an:
“Wahai Ahlul Qur’an!, apa yang telah ditanam
oleh Al-Qur’an ke dalam lubuk hatimu?. Sesungguhnya Al-Qur’an adalah penyubur
hati sebagaimana hujan yang menyuburkan bumi.”
Dalam konteks ruh yang memiliki pengertian
Al-Qur’an, terdapat empat ayat membahasnya, yaitu surah An-Nahl: 2, Ghafir: 15,
Asy-Syura: 52 dan Surah Al-Isra’: 58 yang dipahami secara analogis. Tentunya,
penamaan Al-Qur’an dengan ruh bukan kebetulan dan tanpa hikmah yang perlu
digali oleh hamba-Nya yang merindukan keberkahan dan kekuatan dari Al-Qur’an,
seperti juga nama dan sifat lain yang dimiliki oleh Al-Qur’an yang mencerminkan
fungsi dan perannya yang komprehensif dan universal. Betapa hanya Al-Qur’an
yang bisa diandalkan menyelesaikan masalah kemanusiaan dalam segala bentuknya.
Sayyid Qutb menyatakan pandangannya tentang penamaan
Al-Qur’an dengan ruh berdasarkan firman Allah: “(Dialah) Yang Maha Tinggi
derajat-Nya, Yang mempunyai ‘Arsy, Yang memberi ruh dengan (membawa)
perintahNya kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya, supaya
dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat).” (QS.
Ghafir: 15) bahwa ini merupakan kinayah tentang wahyu. Redaksi yang digunakan
dalam ayat ini mengisyaratkan dua hal: pertama, bahwa wahyu
(Al-Qur’an) adalah ruh dan kehidupan bagi manusia, tanpa ruh ini manusia tidak
akan bisa hidup dengan baik dan benar. Kedua, bahwa wahyu itu turun
dari tempat yang tinggi kepada siapa yang dipilih dari hamba-hamba-Nya. Redaksi
ini bertepatan dengan sifat Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.
Selanjutnya beliau juga menafsirkan ruh dalam
ayat-ayat ini sebagai sebuah kekuatan yang menggerakkan, mempertahankan
kehidupan di dalam hati, bahkan di dalam kehidupan nyata sehari-hari.
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh
(Al-Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah
Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami
menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami
kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar- benar
memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura: 52)
Kekuatan besar dari sentuhan Al-Qur’an ini
dirasakan benar oleh para sahabat Rasulullah karena memang mereka menerima
Al-Qur’an ini dengan segenap hati, pikiran dan kemauan mereka. Seperti yang
diriwayatkan oleh Ath-Thobroni dan Al-Baihaqi dari Abdullah bin Amr bin Ash
bahwa ia berkata:
“Ketika turun surah Az-Zalzalah, maka serentak
Abu Bakar yang sedang duduk waktu itu menangis. Maka Rasulullah saw. pun
menghampirinya dan bertanya, “Apa yang membuat engkau menangis wahai Abu
Bakar?”. Surah inilah yang membuat aku menangis”. Maka Rasulullah menenangkan
dengan sabdanya : “Jika kalian tidak pernah melakukan dosa dan kesalahan,
maka Allah akan menciptakan kaum lain yang mereka itu melakukan salah dan dosa
kemudian mereka bertaubat dan Allah mengampuni mereka.”
Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Hanthob
bahwa Rasulullah saw. pernah membacakan surah ini dalam satu majlis di mana
seorang Arab Badui ikut serta duduk bersama. Setelah mendengar ini, lelaki itu
lantas keluar sambil menyesali dirinya “alangkah buruknya aku”. Maka Rasulullah
mengatakan kepada para sahabatnya, “sungguh iman telah masuk ke dalam hati
lelaki badui tadi.”
Maka sangat tepat ungkapan Dr. Yusuf Al-Qaradlawi
yang menegaskan bahwa : “Al-Qur’an adalah “ruh Rabbani” kekuatan Rabbani
yang akan mampu menghidupkan dan menggerakkan akal fikiran dan hati.
Sebagaimana Al-Qur’an juga undang-undang Allah yang mengatur kehidupan manusia
sebagai individu dan bangsa secara kolektif.”
Syekh Muhammad Al-Ghazali menyebutkan : “Al-Qur’an
inilah kitab yang membentuk jiwa, membangun umat dan kebudayaan mereka. Inilah
sesungguhnya kekuatan Al-Qur’an. Namun yang sangat disayangkan bahwa cahaya ini
tidak nampak di depan umat Islam karena mata-mata mereka sudah tertutup sehingga
aib dalam konteks sekarang ini bukan aib Al-Qur’an, tetapi aib pandangan
manusia yang lebih mengagungkan kekuatan lain selain Al-Qur’an. Padahal Allah
sudah berfirman, “Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul
Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan
banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari
Allah, dan Kitab yang menerangkan, dengan kitab itulah Allah menunjuki
orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan
kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada
cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan
yang lurus.” (QS. Al-Ma’idah: 15-16)
Karenanya esensi seluruh perintah dan petunjuk
Al-Qur’an adalah dalam rangka memelihara kehidupan manusia, baik secara fisik
maupun psikis. Tanpa panduan dan pedoman ini, kehidupan manusia semakin tidak
menentu dan jelas arahnya.
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang
memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi
antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan
dikumpulkan.” (QS. Al-Anfal: 24)
Kekuatan lain yang seharusnya kita sadari dari
Al-Qur’an yang mulia ini bahwa Al-Qur’an merupakan sistem hidup yang
mengarahkan orang-orang yang beriman untuk mewujudkan kehidupan dalam bingkai
keimanan. Sebuah hakikat kehidupan yang meliputi segenap komponen yang ada pada
diri manusia; menghidupkan fisik, perasaan, getaran jiwa, kemauan, pikiran dan
kehendaknya.
“Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan
kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab)
terhadap orang-orang kafir.” (QS. Yaasin: 70)
Ibnu Qutaibah dalam kitab “Tafsir Gharibil
Qur’an” memahami kalimat “Hayyan” di dalam ayat ini dengan pengertian seorang
mukmin yang hidup karena memperoleh petunjuk Allah swt. demikian juga dengan
firman Allah swt.:
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian
dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan
cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa
dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak
dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu
memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am:
122).
Yang dimaksud dengan orang yang hidup dalam ayat
ini adalah orang yang beriman dan orang yang mati adalah orang kafir. Makanya
Allah membedakan keduanya dengan menggunakan istilah ini juga di dalam
firman-Nya: “Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang
yang mati.” (QS.Fathir: 22)
Sesungguhnya, berbagai ujian yang mengejutkan
bangsa ini semakin membuktikan hakikat yang tidak terbantahkan akan kelemahan
manusia dan hajat mereka akan pertolongan Allah swt. bahwa sesungguhnya sumber
kekuatan satu-satunya adalah Allah yang menciptakan segalanya dan kita akan
meraih kekuatan itu dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber
kehidupan dan kekuatan kita.
Sekali lagi, Allah swt. mengingatkan kita akan
kekuatan Al-Qur’an.
“Dia menurunkan para malaikat dengan
(membawa) ruh (Al-Qur’an) dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di
antara hamba-hamba-Nya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya
tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa
kepada-Ku.” (QS. An-Nahl: 2)
Memang sudah saatnya bagi kita untuk menerima
Al-Qur’an dengan segenap perasaan, pikiran dan kehendak kita dan tidak
mengharap atau menggantungkan kekuatan lain di luar dari kekuatan firman-Nya.
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang
yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran
yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang
sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang
panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara
mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16).
Selama kita masih mengharap datangnya kekuatan
lain, maka selama itu pula kita tidak akan meraih kehidupan yang mulia di bawah
bimbingan dan naungan Al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar